Isu Strategis Perdagangan di Kawasan Bebas Batam

World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi yang berurusan dengan aturan perdagangan antar negara─dimana Indonesia telah menjadi anggota sejak tahun 1995─sebenarnya telah mengakomodir isu tersebut dengan memberikan ijin bagi anggotanya untuk mengenakan solusi perdagangan (trade remedies) apabila terjadi proses perdagangan yang tidak adil. Pemerintah Indonesia pun menerjemahkan instrumen trade remedies ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Anti dumping, Tindakan Imbalan (countervailing) dan Tindakan Pengamanan Perdagangan (safeguard). Dalam rangka penguatan industri baja nasional, diperlukan kebijakan pemerintah yang lebih melindungi dari unfair trade, khususnya melalui penggunaan instrumen trade remedies.

Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan dan Karimun, atau lebih lanjut disebut Kawasan Bebas, memiliki zona pengembangan industri galangan kapal yang penting bagi industri baja nasional dan ekonomi Indonesia. Saat ini, terdapat 47 perusahaan galangan kapal di Kawasan Bebas, dari total sekitar 278 perusahaan galangan kapal nasional. Konsumsi baja hot rolled plate (HRP) untuk galangan kapal di Kawasan Bebas relatif  besar jika dibandingkan dengan konsumsi HRP yang diserap oleh industri galangan kapal di luar Kawasan Bebas. Kondisi ini menjadi daya tarik utama bagi pelaku industri baja, baik nasional maupun internasional, untuk menyasar pasar di Kawasan Bebas.

 

Tabel 1 Impor HRP di Kawasan Bebas (Kuantitas [kMT]; Pangsa Pasar [%])

 Saat ini, hampir sebagian besar HRP dipasok dari luar negeri, dengan lima negara pemasok utama yaitu Ukraina, Singapura, Jepang, Korea Selatan, dan Republik Rakyat Tiongkok (Tiongkok). Dengan mendasarkan pada kemampuan pasok dan kualitas produk, produsen baja dalam negeri mampu memenuhi syarat yang ditentukan oleh konsumen, terutama dari industri galangan kapal.

Dari lima negara pemasok utama HRP, tiga diantaranya terbukti melakukan praktik dumping atau menjual HRP di bawah harga normal di pasar domestik negara pengekspor. Negara tersebut adalah Ukraina, Singapura dan Tiongkok. Kementerian Keuangan Republik Indonesia telah merespon aktivitas curang itu dengan mengenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku sejak Oktober 2012 dan telah diperpanjang dua kali hingga masa akhirnya jatuh di bulan Agustus 2024.

Grafik 1 Perbandingan Volume Impor HRP di Kawasan Bebas (dalam kMT)

Namun demikian, pengenaan BMAD ini menjadi kurang menggigit akibat ketidakselarasan peraturan pemerintah dimana disebut dalam penjelasan Pasal 14, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 (PP10/2012) tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas bahwa “termasuk dalam pengertian bea masuk adalah bea masuk anti dumpingbea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan”sementara pasalnya sendiri berbunyi “pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean diberikan pembebasan bea masuk, pembebasan PPN, tidak dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan/atau pembebasan cukai”.

Lebih lanjut, menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, disebutkan bahwa “penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh”, sehingga penjelasan Pasal 14 PP10/2012 dapat dipandang kurang tepat karena berusaha memperluas penerapan ketentuan pembebasan bea masuk sehingga seakan-akan ketentuan yang sama berlaku juga atas bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan.

Situasi ini menyebabkan pengenaan BMAD atas impor di Kawasan Bebas menjadi tidak dapat diterapkan. Selain industri baja nasional, Pemerintah Indonesia pun ikut berpotensi mengalami kerugian akibat kemungkinan berkurangnya pemasukan negara. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk memperbaiki ketentuan-ketentuan terkait sehingga BMAD di Kawasan Bebas dapat berlaku secara efektif dan praktik perdagangan tidak adil (unfair trade) yang merugikan industri baja nasional serta pemerintah dapat dicegah. (RS)